Ares di Ambang Kiamat

Senin, 15 November 2021 08:34 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Di layar laptop kami menyaksikan pemandangan di dalam pesawat. Kamera agak bergoyang-goyang, namun kami bisa menangkap keseluruhan kejadian yang diam-diam direkam oleh vlogger tersebut. Durasi videonya sekitar 15 menit, sebelum akhirnya mati. Kucurigai, akhirnya aksi si vlogger ketahuan oleh si pembajak. Enam pembajak, aku menghitung dalam hati. Kemungkinan korban meninggal, dua orang, beberapa terluka. Aku kembali berhitung. Kulirik jam tanganku, kurang dari setengah jam dari waktu yang ditentukan oleh si pembajak.

Sergapan udara dingin tak menyurutkan laju kecepatanku berlari sepagi ini. Permukaan dedaunan masih basah. Beberapa rimbunnya yang sempat tersentuh tubuhku, memercikkan sisa embun tadi malam. Hutan ini sepi, meniupkan rasa nyaman, memberikan otakku kesempatan untuk berhenti sejenak. Kepala yang biasanya penuh, mendadak lajunya melambat, sebelum nanti kembali mengurai dan mengidentifikasi pelbagai masalah di dalamnya.

Jalur berlariku mulai mendaki. Aku menurunkan kecepatan dan mulai mengatur napas. Fisikku sudah tak sebagus dulu, meski di usia 38 ini, aku masih berani beradu lari dengan para prajurit Kostrad yang sering berlatih di area ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah jalur terjal berhasil kulalui, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ada sebuah batu datar, yang kemudian kududuki. Kukeluarkan sebotol air mineral dari dalam tas ransel kecilku, kemudian menegak isinya dengan rakus.

Beberapa ratus meter dari tempatku duduk, aku sudah bisa melihat gundukan makam. DI gunung Sanggabuana, tempatku berada saat ini, memang ada beberapa makam. Makam-makam yang konon merupakan tempat peristirahatan terakhir nenek moyang orang Karawang ini, tersebar hingga ke puncak gunung. Mistis, kata orang, tapi aku tak peduli. Menurutku, manusia terkadang lebih menakutkan dari setan.

Suara gemeretak walkie talkie dalam ranselku, membuyarkanku dari lamunan.

Sir Alex, posisi di mana? Over.”

Kudekatkan mulutku ke walkie talkie, “Area makam, over.”

“Ditunggu segera di camp, Sir. Code: Black Bear, over.”

Aku terdiam. Kode Black Bear hanya merujuk pada satu orang saja di negeri ini. Orang itu. Mengapa ia menghubungiku?

***

Setiba di camp, aku mengangguk pada seorang petugas yang memberi tanda hormat. Terletak di area seluas 500 hektar, sebagian gunung ini sudah menjadi tempat latihan para prajurit kostrad selama bertahun-tahun. Ini sudah kunjunganku yang kesekian kalinya. Tugasku, menyampaikan materi yang berhubungan dengan strategi psikologis dalam situasi peperangan. Julukanku adalah “Sir Alex, si Dewa perang.”

Aku tiba di bangunan utama, gedung satu lantai berbentuk memanjang ke belakang. Gedung tempat para petinggi diterima jika berkunjung, juga base camp untuk urusan administrasi.

Kapten Angga Widodo, menyambutku di pintu. Setelah melakukan salute dan berbasa-basi, ia menggiringku ke sebuah ruangan. Di dalamnya hanya ada seperangkat meja dan kursi, disertai satu set telepon satelit. Ini disebut “ruang steril”, jika kita ingin berbicara tanpa diganggu, tanpa disadap.

“Saya sudah informasikan, Anda akan tiba kembali di sini maksimal dalam dua jam.” Kapten Angga melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. “Ini lebih cepat dari dugaan saya.” Bibirnya tersenyum.

Aku tertawa.

Tak lama, telepon satelit di atas meja, mulai mengeluarkan bunyi polyphonic. Kapten Angga memberi isyarat dengan telapak tangan kanannya, menunjuk telepon.

Aku mengangkatnya.

Hello? Ares is speaking.” Ares, itu aku, si Dewa perang.

“Alex?”

Aku menelan ludah. Black Bear sedang berbicara denganku. “Sir, yes Sir!”

“Dalam 15 menit, sebuah helikopter akan tiba di sana. Kau akan diterbangkan ke Jakarta, Sarang Rajawali. Berkemas, bawa yang perlu saja.”

Sir, yes Sir!

Aku terdiam sejenak, namun rasa penasaran memberangusku begitu kuat. “Sir, boleh saya tahu kodenya?”

Suara Black Bear di ujung sana agak tertahan, “7500, Alex.”

Hatiku mencelos.

***

Di dalam helikopter yang membawaku menuju Jakarta, aku tercenung.”Sarang Rajawali” berarti, tempat tujuanku adalah Istana Negara. Sementara kode 7500 merujuk pada situasi pembajakan pesawat udara.

Aku menarik napas. Ini situasi yang amat berbahaya. Terakhir kali negeri ini diserang para pembajak pesawat adalah di tahun 1981, sudah lama sekali. Aku menyipitkan mata, pasti ada tuntutan tertentu dari pembajak yang berat, kalau tidak, tak mungkin aku dipanggil jauh-jauh dari puncak sebuah gunung di Karawang.

Black Bear adalah kata sandi untuk orang nomor satu di badan Intelijen Indonesia. Perawakannya yang besar dan gagah membuatnya mendapatkan kata sandi seperti itu. Meski kabarnya, sewaktu dikirim sebagai salah satu anggota pasukan perdamaian ke Afghanistan, ia betulan bertarung melawan seekor beruang yang kebetulan berpapasan di rimba belantara negara tersebut. Benar tidaknya kabar itu, aku tak pernah mengecek.

Di luar semua itu, Black Bear adalah orang yang sangat kuhormati. Selepas tertembak di bagian bahu dan berhenti sebagai pasukan khusus, ia sempat merekrutku berkali-kali untuk tugas negara. Ia selalu mengatakan, negeri ini seharusnya memiliki lebih banyak orang sepertiku, yang tak hanya bisa bertarung, tapi juga menguasai strategi psy war. Masalahnya, untuk punya kemampuan seperti ini juga tak mudah. Aku mengantongi gelar psikologi dari John Hopkins University dan bertahun-tahun bekerja lepas sebagai tenaga profiler di kepolisian dan militer.

Ini jalan hidup yang sunyi.

Mereka yang mengenalku, rata-rata adalah mereka yang pernah kulatih, atau para agen yang sama-sama bertugas dengan menyandang kode rahasia. Kehidupan pribadi? Sudah lama kutepiskan ide tersebut. Sudah lama kupasrahkan seluruh tenaga dan waktuku untuk negara ini. Meski untuk itu, aku hampir kehilangan nyawa berkali-kali.

Di luar perasaan hormat padanya, Black Bear juga memiliki pangkat yang tidak main-main. Ia mengepalai badan intelijen nasional negeri ini. Pengalaman spionasenya selama puluhan tahun paruh kedua masa kemerdekaan, membuatnya jadi sosok yang sangat menguasai dunia itu. Dua tahun terakhir ini, istrinya sukses terpilih menjadi presiden melalui pemilihan langsung. Presiden perempuan kedua yang kami miliki.

Aku sendiri tak begitu mengenal Ibu Presiden, selain kabar yang kudengar dari banyak orang. Ia cukup tangguh kukira, untuk menjadi orang nomor satu berjenis kelamin perempuan.

***

Sambil melangkah mengikuti langkah petugas protokoler istana yang berjas lengkap, dan bersepatu kinclong, diam-diam aku melirik tampilanku sendiri. Celana kargo, sepatu trekking Adidas hitamku yang warnanya sudah memudar, kaus oblong putih dirangkap kemeja flannel kotak-kotak.

Sekilas aku melihat noda kecokelatan di bagian paha celana kargoku yang berwarna khaki. Apa itu noda saus sambal? Mendadak aku juga baru ingat, pagi ini belum sempat mandi, karena langsung lari ke puncak gunung. Sebelum pergi tadi, aku hanya sempat berganti pakaian, dan lupa menyemprotkan parfum. Berjalan di atas lantai istana negara yang bening, aku tiba-tiba merasa jadi gembel.

Sialan.

Petugas protokoler istana membuka pintu di hadapanku. Dengung percakapan yang sebelumnya kutangkap, mendadak hilang, digantikan oleh kesunyian yang membuat canggung.

“Bapak Alex Patirana, sudah tiba, Ibu Presiden.” Demikian protokoler mengumumkan.

Belasan pasang mata mengawasiku yang melangkah masuk. Aku menyapukan pandangan sekilas ke arah mereka, sambil sedikit membungkukkan badan. Mereka para menteri. Beberapa wajah cukup familiar, sebab sering tersorot kamera televisi. Di tengah ruangan ada meja besar berbentuk melengkung, yang bisa menampung sampai kira-kira 20-an orang. Ini agaknya ruang rapat.

“Alex!” Jenderal Wibisono, sang beruang hitam, menyongsongku dengan wajah semringah.

Aku langsung berdiri tegak dan memberi hormat. “Sir, Yes Sir!”. Mengekor di belakang Black Bear, seorang wanita anggun yang berjalan dengan langkah mantap. Ibu presiden. Aku kembali memberi hormat. Beliau mengangguk dan mempersilakanku duduk.

Saat kami semua sudah duduk berhadapan di meja yang besar tadi, Ibu presiden mulai angkat bicara:

“Terima kasih Pak Alex, sudah sudi datang kemari. Saya ingin memperkenalkan Bapak-bapak Menteri yang ada di sini, tapi sayangnya waktu kita tidak banyak.”

Aku mengangguk. “Iya Bu, saya mengerti.”

“Mungkin Pak Alex …”

“Mohon maaf Ibu, Ibu bisa memanggil saya dengan “Alex” saja.” Aku menganggukkan kepala, kemudian memberi isyarat kepada Black Bear, dengan ibu jari tangan kananku. “Bapak juga panggil saya begitu, mohon maaf, Ibu.”

Ibu presiden tertawa kecil. “Baiklah.”  Katanya.

Selama beberapa menit berikutnya, aku mendengarkan paparan dari Ibu presiden, ditambah masukan dari beberapa orang. Sejauh ini pembajak sudah satu kali menelepon dan mengklaim sudah menembak mati seorang penumpang.

“Masalahnya Alex, saya kira ia bukan teroris,” jenderal Wibisono menyeka butiran keringat di dahinya. Aku jarang melihatnya segugup ini. “Kami belum bisa mengidentifikasi identitasnya, namun tuntutannya benar-benar aneh.”

Ya, memang aneh. Selama aku berkarier menjadi profiler, sekaligus sesekali menjadi negosiator, belum pernah kutemui tuntutan seaneh ini. Menghapus biaya perawatan medis untuk semua penderita kanker di seluruh Indonesia.

“Saya setuju, Sir. Ia bukan teroris. Teroris biasanya akan mengajukan tuntutan yang menguntungkan kelompoknya, entah kelompok berbasis keyakinan agama ataupun yang lainnya.”

“Maaf,” seorang lelaki gemuk berkacamata menatapku dari seberang meja. “DIa menyebar terror, mengapa ia tidak bisa disebut teroris?” aku baru menyadari bahwa ia menteri ekonomi. Nilai kurs valuta asing akhir-akhir ini menguat, karena ia menerapkan kebijakan lebih luwes untuk penanaman modal asing. Aku tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Pasti ia ketakutan situasi ini mengancam stabilitas perekonomian nasional.

“Ya Pak, maksud kami, bukan teroris pada umumnya. Komando Jihad, Al Qaeda, Khmer Merah atau Macan Tamil. Biasanya kelompok ini akan menuntut sesuatu yang lebih besar, berupa uang atau kepentingan organisasi mereka, bahkan mengancam kudeta.”

“Lalu, menurut Anda, mereka siapa?” menteri olahraga yang kukenali dari tubuh bugar dan usia mudanya, bertanya.

“Hmm … saya harus bicara langsung dengannya, nanti. Tapi asumsi awal saya adalah, dia hanya seseorang yang putus asa.”

Seseorang mendecakkan lidahnya sambil tertawa kecil. Aku menoleh, mendapati seorang lelaki kurus dengan sisiran rambut kaku, berbelah pinggir. Aku tak mengenalinya.

“Siapa sih ini, Pak Jenderal?” tentu pertanyaan ini ia ajukan pada Jenderal Wibisono, sang beruang hitam.

Aku tersenyum simpul. Birokrasi adalah sesuatu yang paling kubenci, selain pengkhianat negara. Orang-orang ini tentu terbiasa memandang semuanya dari pangkat dan jabatan. Siapalah aku ini, hanya seorang lelaki yang terlihat kucel dan …

“Bung Alex Patirana ini salah satu agen terbaik yang saya miliki!” suara Black Bear yang menggelegar membuatku terdongak. “Mungkin Bapak-bapak belum tahu, tapi ia sudah berpengalaman bertahun-tahun di berbagai medan, baik sebagai profiler, agen, maupun negosiator!”

Keheningan ini sungguh membuat salah tingkah.

Suara dering pesawat telepon di sisi kanan Ibu Presiden mengalihkan perhatian semua orang.  Kini mata semua orang menatap ke titik yang sama.

“Agaknya ini dia. Tadi dia berjanji akan menelepon setelah satu jam.” Suara Ibu Negara terdengar letih. Aku hanya tinggal menunggu perintah. Wanita itu mengangguk padaku. Aku berdiri dari kursiku, mendekatinya. Seorang ajudan, membawakan sebuah kursi tambahan untukku, yang ia letakkan persis di depan pesawat telepon.

Saat mengangkat gagang telepon, bisa kurasakan ketegangan dari sorot mata semua orang di ruangan itu.

“Halo, selamat siang.” Aku menyapa.

Sesaat tak ada yang menjawab. Kemudian, “MANA PRESIDEN PEREMPUAN SIALAN, ITU?!!”

Bisa kulihat Black Bear yang tiba-tiba mengepalkan kedua tinjunya.

“Ibu Presiden ada di sini, bersama saya. Nama saya …”

Sambungan terputus.

Semua orang berbicara pada saat bersamaan, ruangan kembali berdengung dengan banyak percakapan. Aku mengangkat sebelah tanganku, membuat tanda “STOP”. Aku yakin si pembajak akan menelepon lagi.

Betul saja, tak lama dering telepon kembali membuat beberapa orang terlonjak.

“Selamat siang, saya Alex Patirana, dengan siapa saya berbicara?” aku meluncurkan sederet kalimat tersebut dalam satu tarikan napas.

Telepon kembali terputus.

“Bagaimana ini??!!” bapak kurus yang sebelumnya meragukanku kembali meradang. Aku menatapnya tajam, “tenang saja, Pak. Memang begini biasanya tahapan negosiasi. Awalnya mereka akan menolak, lama-lama pasti mau ngomong juga.

Pesawat telepon kembali bordering.

Kali ini, setelah menempelkannya ke daun telinga, aku diam sejenak. Aku menunjuk ke tombol speaker yang ada di sebelah pesawat telepon. Jendera Wibisono langsung ikut-ikutan memberi isyarat ‘diam’ kepada semua orang. Kupencet tombolnya.

“KAU SIAPA, BANGSAT?!” suara orang di seberang menggema di dalam ruangan. Beberapa orang terpaksa harus mendekap mulut mereka, supaya tidak berteriak kaget.

Suara laki-laki dewasa, agak serak. Perokok? Logat nyaris tak ada, meski huruf “t” yang ia ucapkan pada kata “bangsat” memiliki kekhasan seperti orang-orang dari Jawa Tengah.

“ALEX! ALEX PATIRANA! ABANG SIAPA?” aku ikut berteriak kencang, tak peduli dengan wajah para menteri yang terkesiap memandangku.

Sejenak ia tak menjawab. “Untuk apa kau tahu namaku? Ini bukan ajang perkenalan hari pertama sekolah, sialan! Mana presidenmu yang LEMAH itu?”

Intonasi suara sudah mulai normal, good.

“Ya kenalan dulu lah, Bang. Masak cuman mau sekolah aja.” Aku cengengesan sebentar. Wajah para menteri terlihat sudah muak. Oh, andaikan mereka tahu, aku pernah menghabiskan waktu sepanjang delapan jam saat bernegosiasi di sebuah peristiwa pembajakan di Budapest, Hungaria.

“Eh, anj**g! banyak bacot lu ya!” Kali ini Ibu presiden yang terkesiap.

“Santai Bang … santai … andaikan Abang di sini, saya ajak ngerokok dulu deh, barang sebatang.”

Ia terdiam lagi. Kaan, dia pasti perokok.

“Bang, semua aman di sana, Bang?” kulirik daftar nama penumpang, yang tadi sempat ditunjukkan Jenderal Wibisono padaku. Ada 150 nama di sana.  Tengkukku tiba-tiba dingin.

“Aman? Huahahaha? Sudah kutembak satu orang, mau nambah? Hahahaha.”

“Ya engga lah, Bang, hehehe. Jangan lupa dikasih makan minum ya, Bang. Terutama anak-anak dan Ibu hamil.” Seorang penumpang kabarnya hamil sekitar tujuh atau delapan bulan, dan seorang anak berusia di bawah 12 tahun. This is bad, Alex.

“Banyak bacot luh, nj*ng! Lu pikir ini wisata? Study tour?”

Aku tertawa, sengaja kubuat terbahak-bahak. “Ngapain gua ngomong sama lu, pejabat bukan, presiden bukan. MANA PRESIDEN LU??!!”

“Wah Bang, tenang Bang … Ibu presiden ada nih sebelah saya. Kasihan lah Bang, perempuan mana tahan lah dibentak-bentak.”

“SURUH SIAPA DIA JADI PRESIDEN, GUOBLOK?!”

“Iya Bang, saya juga ga milih dia kok, Bang. Heran saya juga, kenapa dia kepilih.” Aku membuat tanda “V” dengan kedua jari tangan kananku dan nyengir ke Ibu Presiden. Peace, Bu …. Ia mengangguk paham.

“Nah, setidaknya lu pinter. Kedengerannya sih, lu pinter, hahahaha.”

“Hahaha, iya Bang, hahahaha.”

Lelaki kurus tadi tiba-tiba menggebrak meja. Semua orang terlonjak kaget, “Berhenti main-main!”

“SUARA SIAPA ITU? SIAPAAAA??”

Aku memaki dalam hati. Kupelototi Bapak-bapak sialan itu. Beberapa menteri menepuk-nepuk bahunya.

“Eh, maaf Bang … itu …”

“Lu mau main-mainin gue? Mau main-mainin nyawa orang-orang di sini? Oke, ini salah lu ya!” Suara tembakan yang kemudian berdentum membuat lututku lemas.

Sambungan telepon dimatikan.

Aku membanting pesawat telepon, dan bangkit dari posisi dudukku. Dengan sekuat tenaga kuangkat kursi yang kududuki tadi dan kulempar ke tembok. Suara patahan kayunya membuat semua orang terperanjat.

“Bangsaaaat! Saya ga butuh Anda ikut ngomong, bangkeeee … lihat akibatnya! Lihaaaaaat!!” aku menunjuk-nunjuk telepon satellite dengan penuh amarah.

“Jaga mulutmu, Bung! Saya bukan orang sembarangan!” lelaki itu ikut meradang.

Kesabaranku sudah habis. Kudekati dia, kucengkeram jasnya yang berharga jutaan itu dan kudorong ia hingga mepet ke dinding. Ibu presiden kudengar memekik kecil.

“Alex …” Black Bear menahan tinjuku.

Kulepaskan cengkeramanku, masih menatapnya tajam. “Orang seperti Anda ini! Yang digaji tinggi oleh negara tapi tak peduli dengan rakyat yang sudah menggajinya! Taik!”

***

Di taman luar istana negara, aku berjalan-jalan tak tentu arah. Berusaha membuat kepalaku yang pening menjadi lebih ringan. Beberapa paspampres mengawasiku yang berjalan mondar-mandir.

Ponselku berdering. Aku melihat layar ponselku. Unidentified number. Keningku berkerut. Kugeser tombol hijau “accept”.

“Alex?” sebuah suara dari masa lalu, membuatku tersentak.

“Chris?” suara tawa menyambutku. “Chris Sabian? Chris fu**kin’ Sabian?” tawanya semakin keras. Chris Sabian, negosiator sahabatku asal Amerika. Kami pernah bekerjasama dalam sebuah kasus di tahun 2002.

“Listen, Alex,” suara Chris terdengar serius, setelah ia berhenti tertawa. “I am following the news dude, the hijacking of your country’s plane. It’s all over the news.”

Aku memijit-mijit pelipisku, tanpa mengatakan apa-apa.

“Aku punya feeling, kau negosiator yang dipanggil pemerintahmu.”

“Chris, pembajak ini. He’s different.”

“Go online, dude. Number one hits now.”

“Huh?”

“A fuckin brave vlogger has been online for like five minutes now. He’s on the plane.”

“Whaaat??”

“Go, Alex check it.”

Aku melesat bagai cheetah memburu mangsa, kembali masuk ke istana, menuju ruang rapat.

***

Di layar laptop kami menyaksikan pemandangan di dalam pesawat. Kamera agak bergoyang-goyang, namun kami bisa menangkap keseluruhan kejadian yang diam-diam direkam oleh vlogger tersebut. Durasi videonya sekitar 15 menit, sebelum akhirnya mati. Kucurigai, akhirnya aksi si vlogger ketahuan oleh si pembajak.

Enam pembajak, aku menghitung dalam hati. Kemungkinan korban meninggal, dua orang, beberapa terluka. Aku kembali berhitung. Kulirik jam tanganku, kurang dari setengah jam dari waktu yang ditentukan oleh si pembajak.

“Bung Alex …” aku membalikkan tubuh, mendapati Ibu presiden menatapku. Aku mengangguk mantap.

Telepon sedang tersambung, aku berusaha mengatur detak jantungku.

“Bang!” aku langsung memanggil begitu ia mengangkat telepon.

“Kurang dari setengah jam dari sekarang, Bung …” suaranya terdengar mulai lelah. Ini bagus.

“Bang, saya tahu Anda lelah, kami pun sama. Apalagi para penumpang …”

“Suruh PRESIDEN ANDA ITU BERTINDAK, TOLOL!”

“Sedang diusahakan Bang, betul. Tuntutan Abang adalah juga impian semua orang di negeri ini. Pasien kanker dibebaskan dari biaya rumah sakit, betul itu, Bang! Memang seharusnya begitu.”


“Bilang itu ke MENTERI KESEHATAN SIYALAAAAN …”

“Betul, Bang. Sudah, Bang. Menteri kesehatan akan segera bertindak. Semua akan dikabulkan.”

“Hmm … lama-lama kau membosankan, Bung. Siapa tadi namamu? Ale? Alex?”

“Alex, Bang. Alex Patirana. Nama Abang siapa?”

Ia terdiam.

“Siapa pun dalam hidup Abang yang pernah tersakiti karena kebijakan pemerintah, saya mewakili mereka memohon maaf, Bang.”

“Presiden! PRESIDEN YANG HARUS MINTA MAAF!”

“Ma … maafkan saya, Pak.” Suara Bu Presiden tiba-tiba memotong. Sunyi sejenak. Baik di dalam ruangan, maupun pembajak di seberang sambungan, semua terdiam.

“Bang …”

“Anda punya keluarga, Bung Alex?”

Aku menelan ludah. Panti asuhan tempatku dibesarkan selalu kupandang bukan tempat bertumbuh yang penuh kasih saying. Bahkan sampai dewasa, aku terlalu takut menerima kasih saying dari siapa pun, sebab dulu aku dibuang, tak disayangi.

“Aah … pasti Anda ga punya, Bung. Hahaha.”

Aku mati kutu.

“Anda takkan pernah tahu rasanya menggendong bayi mungil dalam dekapan. Membaui harum tubuhnya setiap hari, menyaksikan pertumbuhannya dari mulai tumbuh gigi hingga merangkak dan berjalan …”

Kutangkap desah napas Ibu presiden. Kutolehkan kepalaku, dan mendapati kedua matanya berembun.

“Bung, jika Anda punya anak, Anda baru akan tahu rasanya bersedia sakit untuk orang lain. Bersedia menahan pukulan untuknya, menahan beban hidup untuknya, bahkan mati untuknya …”

“Saya turut berduka cita, Bang.” Suaraku lirih.

“Betul Bung, Anda benar. Dia sudah tak ada … dia …” tanpa sadar aku mencengkeram sisi meja.

Suara gemerisik dari telepon satelit terdengar, “hey … apa itu …”

Aku tersentak. Terdengar suara gaduh di latar belakang, campuran antara isak tangis dan jeritan.

“BUNG ALEX! KENAPA ADA JET TEMPUR MENGITARI KAMI?”.

Hatiku mencelos. Seisi ruang rapat langsung gaduh. Si pria kurus yang setelahnya kuketahui sebagai menteri pertahanan yang baru dilantik itu tak ada di antara mereka.

“BUNG! BUNG A …”

Suara ledakan terdengar keras. Sambungan telepon putus.

Aku mulai gemetaran tak terkendali. Kiamat ternyata datang lebih cepat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
irma susanti irsyadi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Ares di Ambang Kiamat

Senin, 15 November 2021 08:34 WIB
img-content

My Imagination

Senin, 15 November 2021 08:28 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler